Marga Arab di Medan Simpan Makna Tiga Warisan - Berita Dolok Sanggul

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Senin, 07 Juli 2025

Marga Arab di Medan Simpan Makna Tiga Warisan


Kota Medan dikenal sebagai salah satu kota multikultural di Indonesia, di mana berbagai etnis dan komunitas hidup berdampingan sejak masa kolonial. Salah satu komunitas yang memiliki jejak sejarah panjang di kota ini adalah keturunan Arab. Tidak hanya dikenal lewat peranannya dalam bidang perdagangan, agama, dan sosial kemasyarakatan, keturunan Arab di Medan juga memiliki kekayaan budaya yang tampak dalam sistem penamaan marganya. Uniknya, marga-marga ini tidak sekadar menjadi penanda garis keturunan, tapi menyimpan makna mendalam yang terbagi dalam tiga kategori: futuratif, situasional, dan kenangan.

Penelitian terbaru yang dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif menunjukkan bahwa marga keturunan Arab di Medan bukan sekadar warisan nama leluhur, tetapi juga sarat nilai dan harapan. Dengan menggunakan teori antropolinguistik Sibarani, penelitian ini mencoba mengungkap makna di balik nama-nama marga tersebut. Hasilnya, marga-marga itu memiliki makna yang terbagi sesuai konteks penciptaannya dan nilai yang ingin diwariskan oleh pendirinya kepada generasi selanjutnya.

Kategori pertama adalah makna futuratif, yakni marga yang mengandung harapan, cita-cita, atau doa baik untuk keturunannya di masa mendatang. Di Medan, terdapat 14 marga keturunan Arab yang masuk kategori ini. Beberapa di antaranya adalah Ba’aqil, Yahya, Babel Khayr, Balatif, Muthahhar, Abdat, dan Al-Amri. Nama-nama ini disematkan bukan hanya sebagai identitas, tapi juga doa agar keturunan keluarga tersebut memiliki masa depan yang baik, sejahtera, atau membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarnya.

Kategori kedua adalah makna situasional. Marga-marga ini lahir dari situasi, kejadian, atau kondisi khusus yang terjadi saat nama itu diberikan. Penelitian mencatat ada 37 marga Arab di Medan yang masuk kategori ini. Misalnya Al-Habsyi yang menandakan asal leluhur dari wilayah Habsyi (Ethiopia), atau Sungkar yang berkaitan dengan profesi leluhur sebagai juru bicara atau orang kepercayaan. Marga seperti Al-Qadri, Bawazier, An-Nahari, dan Baswedan pun masuk kategori ini, karena berakar dari situasi atau status sosial yang pernah disandang leluhurnya ketika mereka tiba atau menetap di Nusantara.

Kategori ketiga adalah makna kenangan. Marga dalam kelompok ini digunakan untuk mengenang leluhur, daerah asal, atau peristiwa penting yang melekat dalam sejarah keluarga tersebut. Di Medan, ada 16 marga keturunan Arab yang termasuk kategori ini, antara lain Al-Kaf, Al-Haddad, Al-Idrus, Assegaf, Aidid, dan Zubaidi. Sebagian besar dari nama-nama ini memang dikenal luas di Indonesia, khususnya di komunitas Arab Hadhrami di berbagai kota pelabuhan, karena berkaitan dengan tokoh-tokoh agama, saudagar besar, atau ulama yang berpengaruh di masa lalu.

Marga kenangan biasanya diwariskan turun-temurun tanpa perubahan, karena menjadi simbol penghormatan terhadap pendiri keluarga atau tokoh yang dianggap berjasa bagi komunitasnya. Misalnya marga Assegaf yang erat kaitannya dengan keturunan Rasulullah SAW, atau Al-Attas yang mengingatkan pada ulama penyebar dakwah di wilayah Asia Tenggara. Marga-marga ini menjadi lambang kehormatan yang tetap dijaga eksistensinya oleh keturunannya di Medan hingga kini.

Uniknya, sistem marga keturunan Arab di Medan berbeda dengan sistem marga etnis Batak di Sumatera Utara yang terikat aturan patrilineal ketat. Dalam komunitas Arab di Medan, penggunaan marga lebih bersifat fleksibel namun tetap sakral. Selain digunakan di lingkungan keluarga, nama marga Arab kerap tercantum dalam dokumen resmi, nama masjid, yayasan sosial, hingga usaha dagang yang mereka kelola. Hal ini menjadi penanda eksistensi keluarga sekaligus bentuk pelestarian nilai budaya.

Selain itu, pengetahuan tentang makna marga ini masih diwariskan secara lisan di lingkungan keluarga besar, khususnya saat pertemuan-pertemuan adat, haul leluhur, atau dalam tradisi pernikahan. Marga tidak hanya menjadi simbol identitas, tapi juga pengikat solidaritas antar keluarga besar keturunan Arab di Medan yang tersebar di berbagai kawasan seperti Kampung Madras, Petisah, hingga Medan Denai.

Menariknya, beberapa marga keturunan Arab di Medan justru lahir setelah kedatangan leluhur mereka ke Nusantara. Marga ini muncul karena adaptasi sosial, profesi, atau kejadian khusus di wilayah rantau. Misalnya, marga Sungkar yang dalam dialek Arab Indonesia berarti "penyampai pesan" atau "juru bicara", lahir di Medan akibat status leluhurnya yang dipercaya masyarakat setempat sebagai penengah atau negosiator antara warga lokal dan pemerintah kolonial.

Perkembangan zaman turut mempengaruhi pergeseran persepsi terhadap makna marga ini. Generasi muda keturunan Arab di Medan kini lebih banyak mengenal marga sebatas nama belakang tanpa memahami makna historisnya. Meski begitu, sebagian keluarga besar tetap menjaga tradisi menjelaskan silsilah dan makna marga kepada anak-cucu mereka, terutama saat haul keluarga atau acara adat.

Keberadaan marga-marga ini juga menjadi bahan kajian penting dalam antropolinguistik, karena di balik setiap nama terdapat rekam jejak sejarah migrasi, status sosial, hingga interaksi antarbudaya antara Arab, Melayu, Batak, dan Tionghoa di Medan. Nama marga seperti Al-Khayyath yang berarti tukang jahit atau Mazrok yang bermakna tombak, menyimpan kisah tentang profesi dan peran sosial yang dijalankan oleh nenek moyang mereka.

Kini, di tengah modernisasi dan urbanisasi kota Medan, tradisi marga ini masih bertahan sebagai simbol kehormatan dan identitas budaya. Nama-nama marga keturunan Arab itu tetap tertera di batu nisan pemakaman keluarga, papan nama toko, hingga masjid-masjid tua peninggalan komunitas Hadhrami di Medan. Tradisi ini menjadi warisan budaya yang memperkaya wajah multikultural Medan hingga kini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad