Kesultanan Islam Tua Ethiopia dan Nasib Keturunannya - Berita Dolok Sanggul

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Jumat, 04 Juli 2025

Kesultanan Islam Tua Ethiopia dan Nasib Keturunannya


Sejarah Ethiopia bukan hanya soal Kerajaan Aksum dan Solomonic Dynasty. Di negeri yang dijuluki atap Afrika ini, pernah berdiri sejumlah kesultanan Islam yang berjaya antara abad ke-10 hingga ke-19. Kesultanan-kesultanan ini membentuk jalur perdagangan penting di Tanduk Afrika dan memainkan peran sentral dalam penyebaran Islam di kawasan. Meski kini kuasa politik mereka telah lama padam, jejak keturunan bangsawannya masih bisa ditemui di Ethiopia maupun diaspora di Sudan, Djibouti, Yaman, dan Arab Saudi.

Kesultanan Islam tertua yang pernah tercatat di Ethiopia adalah Kesultanan Shoa atau Sultanate of Shewa, yang berdiri sejak abad ke-9 hingga awal abad ke-13. Shoa berpusat di kawasan Awash, dan dikenal sebagai pelopor penyebaran Islam di dataran tinggi Ethiopia. Wilayah kekuasaannya membentang hingga perbatasan Somali dan Afar. Sultan Shoa menjalin hubungan dagang intensif dengan pelabuhan-pelabuhan Arab di Laut Merah.

Di abad ke-13, muncul Kesultanan Ifat, yang mengambil alih kekuasaan Shoa. Berdiri sekitar tahun 1285, Ifat berpusat di Wahal dan menguasai jalur perdagangan dari dataran tinggi menuju pesisir Zeila dan Tadjoura. Sultan Ifat terkenal berulang kali berperang dengan Kekaisaran Ethiopia. Salah satu sultannya, Sabr ad-Din I, memimpin perlawanan besar di awal abad ke-14 sebelum wilayahnya akhirnya dihancurkan pasukan Kaisar Amda Seyon I tahun 1332.

Seusai keruntuhan Ifat, kekuasaan Muslim berpusat di Kesultanan Adal, yang berdiri dari abad ke-14 hingga awal abad ke-17. Berpusat di Zeila dan kemudian Harar, Adal mencapai puncak kejayaan pada masa Ahmad ibn Ibrahim al-Ghazi, atau Imam Ahmad "Gragn". Pada periode 1527–1543, Ahmad memimpin jihad besar melawan Kekaisaran Ethiopia, merebut sebagian besar wilayah dataran tinggi dan bahkan hampir menaklukkan ibu kota Ethiopia. Namun Ahmad gugur dalam pertempuran di Wayna Daga tahun 1543, dan Adal mulai mengalami kemunduran.

Harar kemudian mengambil alih peran sebagai pusat kekuasaan Islam. Sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-20, Emirat Harar berdiri sebagai kesultanan independen yang mengendalikan kawasan perdagangan antara Ethiopia, Somalia, dan Arab. Dikenal sebagai “kota seribu masjid,” Harar menjadi pusat intelektual dan keagamaan Islam di kawasan Tanduk Afrika. Kota ini membangun benteng batu Jugol yang masih berdiri hingga kini. Harar juga menjadi pelabuhan dagang manusia, kopi, rempah, dan emas.

Di kawasan barat Ethiopia, sejak abad ke-18 berdiri Kesultanan Asosa, Kesultanan Bambasi, dan Kesultanan Gubba di wilayah Benishangul. Wilayah ini dikenal kaya emas dan memiliki hubungan erat dengan Sudan. Sultan-sultan Benishangul memiliki ikatan kekerabatan dengan para pemimpin Islam di Khartoum dan Omdurman. Namun, pada 1898, wilayah ini dianeksasi Kekaisaran Ethiopia di bawah Menelik II atas permintaan Sudan Mahdist untuk menghalangi Inggris.

Selain itu ada Kesultanan Dawaro, Bale, Hadiya, dan Fatagar, yang aktif sejak abad ke-13 hingga 16. Kesultanan-kesultanan ini memainkan peran penting dalam perdagangan regional dan menjadi benteng pertahanan Islam dari ekspansi dinasti Solomonic Ethiopia. Namun semua wilayah ini akhirnya ditaklukkan antara tahun 1529 hingga 1600, pasca wafatnya Ahmad Gragn.

Setelah penaklukan oleh kekaisaran Ethiopia, sebagian besar keluarga bangsawan Muslim Ethiopia kehilangan kekuasaannya. Banyak dari mereka diasingkan ke wilayah pedalaman atau melarikan diri ke Sudan, Djibouti, dan Yaman. Keturunan bangsawan Adal dan Ifat banyak menetap di kawasan Zeila, Berbera, dan pelabuhan Tadjoura di Djibouti.

Di Sudan, keturunan sultan Benishangul bermukim di sekitar Blue Nile dan Khartoum. Di sana, mereka mempertahankan silsilah bangsawan Islam Ethiopia dan masih dihormati di komunitas setempat. Beberapa dari mereka aktif dalam bisnis emas dan perdagangan tekstil, serta menjadi tokoh agama setempat.

Keturunan Emir Harar masih banyak bertahan di kota Harar hingga awal abad ke-20. Namun saat Ethiopia di bawah Kaisar Menelik II menaklukkan Harar tahun 1887, kekuasaan Emir dihapus. Keturunan keluarga bangsawan Harar sebagian menetap di Djibouti dan Somalia. Hingga kini di Harar, keturunan keluarga Emir tetap disegani dan memegang peran adat dalam perayaan Maulid Nabi dan upacara keagamaan lokal.

Naskah-naskah Islam kuno dalam bahasa Arab dan Ge’ez warisan kesultanan-kesultanan itu masih tersimpan di masjid-masjid tua Harar, Zeila, dan Awash. Naskah-naskah ini menjadi bukti warisan keilmuan Islam Ethiopia yang sempat jaya selama lebih dari 600 tahun. Beberapa manuskrip sempat dijarah saat invasi Kekaisaran Ethiopia dan ekspedisi kolonial Eropa.

Secara arsitektur, reruntuhan benteng Ifat di kawasan Awash dan reruntuhan istana di Gubba masih bisa ditemukan. Begitu pula benteng Jugol Harar yang kini jadi Situs Warisan Dunia UNESCO. Masjid-masjid tua di Harar, sebagian diduga berdiri sejak abad ke-13, masih aktif digunakan hingga kini.

Dalam diaspora, keturunan bangsawan Ifat dan Adal kini berbaur dengan komunitas Arab di Yaman dan Saudi. Beberapa di antaranya menjadi tokoh agama, pedagang, atau pelaut. Di Djibouti, komunitas keturunan sultan Ifat-Adal dikenal sebagai penjaga tradisi zikir dan tarekat sufi kuno.

Saat ini di Ethiopia, keturunan bangsawan lama kesultanan-kesultanan itu sudah tidak memiliki kekuasaan politik. Namun di komunitas Muslim Harar dan Benishangul, nama-nama keluarga tua masih dihormati. Gelar adat seperti Haji, Habib, atau Sayyid disematkan pada keturunan langsung keluarga sultan dan emir.

Sejarah panjang kesultanan Islam di Ethiopia menjadi babak penting yang kerap terlupakan dalam historiografi nasional. Padahal mereka berjasa membangun jaringan perdagangan, sistem kota, tradisi keilmuan, dan memperkenalkan Islam di kawasan dataran tinggi Afrika Timur. Jejak mereka masih bisa ditelusuri dari keturunan yang tersisa hingga ke luar Afrika.

Kini, sejumlah keturunan keluarga sultan Ifat, Adal, dan Benishangul mulai bergerak aktif dalam forum diaspora untuk mengangkat kembali warisan sejarah mereka. Beberapa lembaga budaya di Djibouti dan Sudan bahkan mulai mendokumentasikan silsilah keturunan sultan Islam Ethiopia. Harapannya, kisah kejayaan kesultanan tua Ethiopia bisa kembali dikenal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad