Lembaga pemeringkat surat utang Moody's Investor Service memperingatkan bahwa momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 bisa menghambat laju efektivitas reformasi kebijakan ekonomi di Indonesia. Mengutip laporan proyeksi Moody's investor Service pada 10 Januari 2018, dua negara di Asia yakni, Indonesia dan India dinilai perlu memerhatikan kondisi dan risiko ekonomi masing-masing negara menjelang masa Pilkada tahun ini. "Di Indonesia dan India, Pilkada bisa jadi memperlambat momentum perbaikan ekonomi," ujar laporan tersebut dikutip Rabu (10/1).
Reformasi kebijakan sangat penting karena Indonesia dipandang rentan terhadap normalisasi suku bunga acuan AS. Sebab, rata-rata rasio utang terhadap pendapatan (Debt to Service Ratio) korporasi di Indonesia berada di bawah 2, atau mudah terserang dampak perubahan suku bunga acuan dan perubahan nilai tukar mata uang secara dadakan.
Meski demikian, Moody's juga memandang cadangan devisa Indonesia masih aman karena kebijakan makroprudensial yang ditempuh setahun belakangan, sehingga seharusnya risiko tekanan eksternal bisa ditekan. "Beberapa negara bisa menangani tekanan dari suku bunga dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan akumulasi cadangan devisa seperti di India, Taiwan, Filipina, Thailand, dan Indonesia," pungkas laporan itu.
Selain Indonesia, beberapa negara Asia juga memasuki masa pemilihan umum dalam dua tahun ke depan. Sebut saja Malaysia, Kamboja, Fiji, Thailand, dan Bangladesh yang akan mengadakan pemilihan parlemen. Selain itu, ada pula Maladewa yang rencananya akan menghelat pemilihan presiden tahun ini.
Banyak negara yang berkonsentrasi pada pemilihan umum bisa memperlambat momentum reformasi kebijakan ekonomi. Dalam hal ini, Moody's mencontohkan Malaysia yang sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan penerimaan negara dalam dua tahun terakhir gara-gara mempersiapkan diri menjelang pemilihan parlemen pada Agustus 2018 mendatang.
Selain Malaysia, Moody's juga mencontohkan kasus di mana perbaikan reformasi kebijakan ekonomi tertahan gara-gara tensi politik. Di Kamboja, misalnya, ketegangan politik antara Cambodian People's Party pimpinan Hun Sen dengan Cambodian National Rescue Party bisa menghambat perkembangan reformasi kebijakan seperti penanggulangan korupsi dan berpotensi tidak lagi menerima bantuan dari donor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Namun, Moody's menilai bahwa reformasi kebijakan ekonomi di Fiji masih bisa berjalan dengan lancar karena petahana diperkirakan akan kembali berkuasa di tahun ini. "Dengan demikian, ini bisa menopang keberlanjutan kebijakan," lanjut laporan itu.
Dalam kesempatan sebelumnya, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, ekonomi berpotensi tumbuh sedikit lebih tinggi. Penyebabnya, konsumsi rumah tangga semestinya membaik di tahun politik. Adapun tahun ini, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kurang dari 5,1%, sedangkan tahun depan 5,15%. "Ekonomi 2018 kelihatannya agak membaik sedikit karena pemerintah fokus ke belanja sosial (bansos), kan ada Pilkada. Pasti dana daerah bergerak," kata Lana.
Namun, ia menekankan masih ada risiko ekonomi dari sisi belanja negara lantaran penerimaan pajak yang seret. Belanja pemerintah daerah (pemda) juga kemungkinan tak akan ekspansif. "(Kepala daerah) yang incumbent sekarang akan takut tanda tangan (proyek) karena takut tidak terpilih lagi," ucapnya. Di sisi lain, bila kepala daerah yang terpilih adalah orang baru, butuh waktu tiga bulan untuk belajar pemerintahan sehingga realisasi belanja daerah akan tersendat.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede lebih optimistis. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,2-5,3% di 2018. Penyokongnya, kenaikan konsumsi masyarakat, sebagai efek positif dari Pilkada dan imbas program padat karya yang akan dilaksanakan pemerintah. (sumber)
Reformasi kebijakan sangat penting karena Indonesia dipandang rentan terhadap normalisasi suku bunga acuan AS. Sebab, rata-rata rasio utang terhadap pendapatan (Debt to Service Ratio) korporasi di Indonesia berada di bawah 2, atau mudah terserang dampak perubahan suku bunga acuan dan perubahan nilai tukar mata uang secara dadakan.
Meski demikian, Moody's juga memandang cadangan devisa Indonesia masih aman karena kebijakan makroprudensial yang ditempuh setahun belakangan, sehingga seharusnya risiko tekanan eksternal bisa ditekan. "Beberapa negara bisa menangani tekanan dari suku bunga dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan akumulasi cadangan devisa seperti di India, Taiwan, Filipina, Thailand, dan Indonesia," pungkas laporan itu.
Selain Indonesia, beberapa negara Asia juga memasuki masa pemilihan umum dalam dua tahun ke depan. Sebut saja Malaysia, Kamboja, Fiji, Thailand, dan Bangladesh yang akan mengadakan pemilihan parlemen. Selain itu, ada pula Maladewa yang rencananya akan menghelat pemilihan presiden tahun ini.
Banyak negara yang berkonsentrasi pada pemilihan umum bisa memperlambat momentum reformasi kebijakan ekonomi. Dalam hal ini, Moody's mencontohkan Malaysia yang sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan penerimaan negara dalam dua tahun terakhir gara-gara mempersiapkan diri menjelang pemilihan parlemen pada Agustus 2018 mendatang.
Selain Malaysia, Moody's juga mencontohkan kasus di mana perbaikan reformasi kebijakan ekonomi tertahan gara-gara tensi politik. Di Kamboja, misalnya, ketegangan politik antara Cambodian People's Party pimpinan Hun Sen dengan Cambodian National Rescue Party bisa menghambat perkembangan reformasi kebijakan seperti penanggulangan korupsi dan berpotensi tidak lagi menerima bantuan dari donor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Namun, Moody's menilai bahwa reformasi kebijakan ekonomi di Fiji masih bisa berjalan dengan lancar karena petahana diperkirakan akan kembali berkuasa di tahun ini. "Dengan demikian, ini bisa menopang keberlanjutan kebijakan," lanjut laporan itu.
Dalam kesempatan sebelumnya, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, ekonomi berpotensi tumbuh sedikit lebih tinggi. Penyebabnya, konsumsi rumah tangga semestinya membaik di tahun politik. Adapun tahun ini, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kurang dari 5,1%, sedangkan tahun depan 5,15%. "Ekonomi 2018 kelihatannya agak membaik sedikit karena pemerintah fokus ke belanja sosial (bansos), kan ada Pilkada. Pasti dana daerah bergerak," kata Lana.
Namun, ia menekankan masih ada risiko ekonomi dari sisi belanja negara lantaran penerimaan pajak yang seret. Belanja pemerintah daerah (pemda) juga kemungkinan tak akan ekspansif. "(Kepala daerah) yang incumbent sekarang akan takut tanda tangan (proyek) karena takut tidak terpilih lagi," ucapnya. Di sisi lain, bila kepala daerah yang terpilih adalah orang baru, butuh waktu tiga bulan untuk belajar pemerintahan sehingga realisasi belanja daerah akan tersendat.
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede lebih optimistis. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,2-5,3% di 2018. Penyokongnya, kenaikan konsumsi masyarakat, sebagai efek positif dari Pilkada dan imbas program padat karya yang akan dilaksanakan pemerintah. (sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.